gairah-tetangga.com – Namaku Dimas dan aku tinggal di Jakarta. Di saat aku menulis cerita ini, aku baru saja menginjak umur 25 tahun. Aku bekerja di sebuah perusahaan marketing ternama di kawasan daerah Kuningan (Jakarta Selatan). Perusahaan kami ini adalah anak dari perusahaan marketing Inggris yang mana Head Office untuk Asia Pasific berada di negeri Singapore. Aku bisa bekerja di perusahaan ini atas bantuan ibu tiriku yang memiliki banyak kolega perusahaan-perusahaan ternama di Jakarta.
Ibu tiriku tergolong orang yang terpandang dan kaya raya. Bekas suaminya adalah pengusaha distributor minyak bumi dalam negeri yang punya akses mudah ke instansi-instansi pemerintah. Ibu tiriku cerai dengan bekas suaminya karena bekas suaminya memiliki banyak ’selir-selir’ di beberapa kota di pulau Jawa dan beberapa lagi di luar pulau Jawa. Karena tidak tahan dengan situasi yang dia hadapi, dia memutuskan untuk bercerai dengan bekas suaminya.
Menurut cerita ibu tiriku, urusan perceraiannya sangatlah rumit, berbelit-belit, dan memakan waktu berbulan-bulan. Seperti biasa pembagian harta gono-gini yang membuat urusan cerai menjadi lebih panjang. Sampai pada akhirnya hasil dari perceraian tersebut, ibu tiriku mendapat 30% dari seluruh aset dan kekayaan mantan suaminya. Namun setelah itu, ibu tiriku tidak diperbolehkan lagi untuk meminta jatah lagi kekayaan bekas suaminya setelah perceraiannya final di pengadilan.
Bisa para pembaca membayangkan seberapa besar warisan kekayaan ibu tiriku. Bagaimana dengan keluarga asliku? Ayah bercerai dengan ibu kandungku saat aku masih berumur 7 tahun. Masalah dari perceraian tersebut, aku masih kurang tau sampai sekarang ini. Ayah lebih memilih untuk tidak menceritakan masalah tersebut, dan aku pun tidak pernah lagi bertanya kepadanya. Aku mengerti perasaan ayah, karena saat itu kehidupan ekonomi keluarga masih sangat sulit dan ayah pada saat itu hanya seorang pegawai toko di daerah Mangga Besar. Meskipun hanya pegawai toko biasa, ayah memiliki bakat dan hobi mekNinik yang berhubungan dengan mesin motor.
Pendidikan ayah hanya sampai pada tamatan SD, dan dia mendapat ilmu montirnya dari kakek yang dulu sempat bekerja di bengkel reparasi mobil. Ayah selalu memiliki cita-cita untuk membuka bengkel sendiri. Setelah bercerai dengan ibu kandungku, aku dan ayah sering berpindah-pindah rumah kontrak. Ekonomi ayah juga tidak juga membaik. Sering istilah kehidupan kami bak ‘gali lubang tutup lubang’. Setiap tahun gaji ayah naik hanya sedikit saja, dan kebutuhan ekonomi selalu meningkat.
Namun ayah tidak pernah menyerah untuk berusaha lebih demi menyekolahkan aku. Untungnya aku tergolong anak yang suka sekolah dan belajar, oleh karenanya ayah tidak pernah mengenal lelah mencari uang tambahan agar aku menjadi orang yang berilmu dan mencapai karir indah di masa depanku. Cita-cita ayah membuka bengkel reparasi mobil sendiri bermula dari keisengannya melamar kerja di bengkel mobil dekat rumah kontrakan kami. Ayah kerja di toko hanya selama 6 hari seminggu bergantian, tapi ayah menetapkan untuk mengambil hari Sabtu libur agar dia bisa bekerja di bengkel mobil tersebut. Karena bakat dan cinta ayah terhadap mesin mobil dan motor, ayah menjadi tukang favorit di bengkel tersebut.
Perlahan-lahan ayah mengurangi hari kerja ayah sebagai pegawai toko menjadi 5 hari seminggu, kemudian 4 hari seminggu, dan terakhir 3 hari seminggu. Sampai pada akhirnya bengkel menarik banyak pelanggan tetap, dan ayah diminta untuk bekerja sebagai pegawai tetap di bengkel itu. Gaji ayah naik 3 kali lipat dari gaji sebagai pegawai toko plus bonus dan tip-tip dari pelanggan. Lebih bagusnya lagi ayah hanya bekerja 5 hari saja dari hari Senin sampai Jumat. Ayah sengaja tidak memilih hari Sabtu dan Minggu demi menghabiskan waktu berdua denganku. Setiap hari Sabtu ayah suka menjemputku sepulang sekolah, maklum biasanya sekolahku hanya masuk 1/2 hari di hari Sabtu dan kami berdua suka jajan di luar sebelum pulang ke rumah. Sejak bekerja di bengkel itu, aku menjadi dekat dengan ayah.
Dengan kondisi ekonomi yang semakin membaik dari hari ke hari, kini ayah mampu untuk membeli rumah sendiri meskipun tidak besar. Malaikat keberuntungan sedang berada disamping ayah. Ayah orang yang baik, tekun dan jujur, maka dari itu ayah diberi banyak rejeki dari yang di atas. Bengkel itu menjadi tumbuh pesat pula berkat kedatangan ayah. Demi menjaga hubungan baik antara ayah dengan bos bengkel itu, ayah diberi komisi 15% dari setiap pembayaran service/reparasi mobil. Motor yang dia urus plus bonus tahunan dan belum lagi tip-tip dari pelanggan. Nama bengkel menjadi terkenal karena rekomendasi dari mulut ke mulut, sampai pada suatu hari ibu tiriku ini menjadi pelanggan tetap bengkel itu.
Ibu tiriku mendengar nama bengkel dan nama ayahku dari teman dekatnya. Saat itu ibu tiriku memiliki 3 buah mobil. Seingatku waktu itu ada BMW, Mercedes, dan mobil kijang. Ibu tiriku sering mengunjungi bengkel ayah dengan alasan untuk check up antara mobil BMW-nya atau Mercedes-nya. Mobil kijangnya hanya datang dengan supir. Sebut saja nama ibu tiriku adalah Rica (nama singkatan). Saat itu aku memanggilnya tante Rica. Umur tante Rica 4 tahun lebih muda dari ayah. Kerutinan tante Rica ke bengkel menjadi awal dari romansa antara dia dan ayah. Ayah sering kencan berdua dengan tante Rica, dan terkadang mereka mengajakku pergi bersama- sama pula.
Terus terang sejak bersama tante Rica, wajah ayah lebih tampak berseri-seri dan lebih segar. Mungkin saat itu dia menemukan cinta keduanya setelah bertahun-tahun berpisah dengan ibu kandungku. Melihat perubahaan positif ayah, aku pun menjadi ikut senang. Aku juga senang bila tante Rica datang berkunjung, karena dia sering membawa oleh-oleh berupa makanan atau minuman yang belum pernah aku liat sebelumnya. Belakangan aku baru tau bahwa bingkisan itu adalah pemberian dari kolega bisnisnya. Salah satu rumah Tante Rica berada di daerah Jakarta Selatan, dan tentu banyak orang tau bahwa kawasan ini adalah kawasan elit.
Setelah bercerai, tante Rica membuka beberapa bisnis elit di sana seperti salon/spa kecantikan, dan butik. Para pelanggannya juga dari kalangan kaliber atas seperti pejabat dan artis. Dia menyewa beberapa prajurit terpercaya untuk menjalankan usaha-usaha bisnisnya. Dalam singkat cerita, ayah dan tante Rica akhirnya memutuskan untuk menikah. Setelah menikah aku disuruh memanggilnya ‘mama’. Perlu waktu beberapa minggu untuk memanggilnya ‘mama’, tapi lama-lama aku menjadi biasa untuk memanggilnya ‘mama’.
Untuk lebih singkatnya dalam cerita ini, aku akan menyebut ‘ibu tiriku’ sebagai ‘ibu’. Sejak setelah menikah, ibu tinggal di rumah kecil kami beberapa bulan sambil menunggu bangunan rumah baru mereka selesai. Lagi-lagi, rumah baru mereka tidak jauh dari bengkel ayah. Ayah menolak tinggal di rumah tante Rica karena alasan pribadi ayah. Setelah banyak proses yang dilakukan antara ayah dan ibu, akhirnya bengkel tempat ayah bekerja, kini menjadi milik ayah dan ibu sepenuhnya.
Ayah pernah memohon kepada ibu agar dia ingin tetap dapat bekerja di bengkel, dan terang saja bengkel itu langsung ibu putuskan untuk dibeli saja. Maklum ibu adalah ‘business-minded person’. Aku semakin sayang dengan ibu, karena pada akhirnya cita-cita ayah untuk memiliki bengkel sendiri terkabulkan. Kini bengkel ayah makin besar setelah ibu ikut berperan besar di sana. Banyak renovasi yang mereka lakukan yang membuat bengkel ayah tampak lebih menarik. Pelanggan ayah makin bertambah, dan kali ini banyak dari kalangan orang-orang kaya. Ayah tidak memecat pegawai-pegawai lama di sana, malah menaikkan gaji mereka dan memperlakukan mereka seperti saat dia diperlakukan oleh pemilik bengkel yang lama.
Kehidupan dan gaya hidupku & ayah benar- benar berubah 180 derajat. Kini ayah sering melancong ke luar negeri bersama ibu, dan aku sering ditinggal di rumah sendiri dengan pembantu. Alasan aku ditinggal mereka karena aku masih harus sekolah. Ibu sering mengundang teman-teman lamanya bermain di rumah. Salah satu temannya bernama tante Nini. Tante Nini saat itu hanya 15 tahun lebih tua dariku. Semestinya dia pantas aku panggil kakak daripada tante, karena wajahnya yang masih terlihat seperti orang berumur 20 tahunan. Tanti Nini adalah pelanggan tetap salon kecantikan ibu, dan kemudian menjadi teman baik ibu. Wajah tante Nini tergolong cantik dengan kulitnya yang putih bersih. Dadanya tidak begitu besar, tapi pinggulnya indah bukan main.
Maklum anak orang kaya yang suka tandang ke salon kecantikan. Tante Nini sering main ke rumah dan kadang kala ngobrol atau gossip dengan ibu berjam-jam. Tidak jarang tante Nini keluar bersama kami sekeluarga untuk nonton bioskop, window shopping atau ngafe di mall. Aku pernah sempat bertanya tentang kehidupan pribadi tante Nini. Ibu bercerita bahwa tante Nini itu bukanlah janda cerai atau janda apalah. Tapi tante Nini sempat ingin menikah, tapi ternyata pihak dari laki-laki memutuskan untuk mengakhiri pernikahan itu. Alasan-nya tidak dijelaskan oleh ibu, karena mungkin aku masih terlalu muda untuk mengerti hal-hal seperti ini. Pada suatu hari ayah dan ibu lagi-lagi cabut dari rumah.
Tapi kali ini mereka tidak ke luar negeri, tapi hanya melancong ke kota Bandung saja selama akhir pekan. Lagi-lagi hanya aku dan pembantu saja yang tinggal di rumah. Saat itu aku ingin sekali kabur dari rumah, dan menginap di rumah teman. Tiba-tiba bel rumah berbunyi dan waktu itu masih jam 5:30 sore di hari Sabtu. Ayah dan ibu baru 1/2 jam yang lalu berangkat ke Bandung. Aku pikir mereka kembali ke rumah mengambil barang yang ketinggalan. Sewaktu pintu rumah dibuka oleh pembantu, suara tante Nini menyapanya. Aku hanya duduk bermalas-malasan di sofa ruang tamu sambil nonton acara TV. Tiba-tiba aku disapanya.
“Dimas kok ngga ikut papa mama ke Bandung?”tanya tante Nini.
“Kalo ke Bandung sih Dimas malas, tante. Kalo ke Singapore Dimas mau ikut.” jawabku santai.
“Yah kapan-kapan aja ikut tante ke Singapore.
Tante ada apartment di sana” tungkas tante Nini.
Aku pun hanya menjawab apa adanya “Ok deh.
Ntar kita pigi rame-rame aja. Tante ada perlu apa dengan mama? Nyusul aja ke Bandung kalo
penting.”.
“Kagak ada sih. Tante cuman pengen ajak mamamu makan aja. Yah sekarang tante bakalan makan sendirian nih. Dimas mau ngga
temenin tante?”.
“Emang tante mau makan di mana?”
“Tante sih mikir Pizza Hut.”
“Males ah ogut kalo Pizza Hut.”
“Trus Dimas maunya pengen makan apa?”
“Makan di Muara Karang aja tante. Di sono kan banyak pilihan, ntar kita pilih aja yang kita mau.”
“Oke deh. Mau cabut jam berapa?”
“Entaran aja tante. Dimas masih belom laper. Jam 7 aja berangkat. Tante duduk aja dulu.”
Kami berdua nonton bersebelahan di sofa yang empuk. Sore itu tante Nini mengenakan baju yang lumayan sexy. Dia memakai rok ketat sampai 10 cm di atas lutut, dan atasannya memakai baju berwarna orange muda tanpa lengan dengan bagian dada atas terbuka (kira- kira antara 12 sampai 15cm kebawah dari pangkal lehernya). Kaki tante Nini putih mulus, tanpa ada bulu kaki 1 helai pun. Mungkin karena dia rajin bersalon ria di salon ibu, paling tidak seminggu 2 kali.
Bagian dada atasnya juga putih mulus. Kami nonton TV dengan acara/channel seadanya saja sambil menunggu sampai jam 7 malam. Kami juga kadang-kadang ngobrol santai, kebanyakan tante Nini suka bertanya tentang kehidupan sekolahku sampai menanyakan tentang kehidupan cintaku di sekolah. Aku mengatakan kepada tante Nini bahwa aku saat itu masih belum mau terikat dengan masalah percintaan jaman SMA. Kalo naksir sih ada, cuma aku tidak sampai menganggap terlalu serius. Semakin lama kami berbincang-bincang, tubuh tante Nini semakin mendekat ke arahku. Bau parfum Chanel yg dipakai mulai tercium jelas di hidungku. Tapi aku tidak mempunyai pikiran apa-apa saat itu.
Tiba-tiba tante Nini berkata, “Dimas, kamu suka dikitik-kitik ngga kupingnya?”.
“Huh? Mana enak?” tanyaku.
“Mau tante kitik kuping Dimas?” tante Nini menawarkan/
“Hmmm…boleh aja. Mau pake cuttonbud?” tanyaku sekali lagi.
“Ga usah, pake bulu kemucing itu aja” tundas tante Nini.
“Idih jorok nih tante. Itu kan kotor. Abis buat bersih-bersih ama mbak.” jawabku spontan.
“Alahh sok bersihan kamu Dimas. Kan cuman ambil 1 helai bulunya aja. Lagian kamu masih belum mandi kan? Jorok mana hayo!” tangkas tante Nini. “Percaya tante deh, kamu pasti demen. Sini baring kepalanya di paha tante.” lanjutnya.
Seperti sapi dicucuk hidungnya, aku menurut saja dengan tingkah polah tante Nini. Ternyata memang benar adanya, telinga ‘dikitik-kitik’ dengan bulu kemucing benar-benar enak tiada tara. Baru kali itu aku merasakan enaknya, serasa nyaman dan pengen tidur aja jadinya. Dan memang benar, aku jadi tertidur sampe sampai jam sudah menunjukkan pukul 7 lewat. Suara lembut membisikkan telingaku.
“Dimas, bangun yuk. Tante dah laper nih.” kata tante.
“Erghhhmmm … jam berapa sekarang tante.” tanyaku dengan mata yang masih setengah terbuka.
“Udah jam 7 lewat Dimas. Ayo bangun, tante dah laper. Kamu dari tadi asyik tidur tinggalin tante. Kalo dah enak jadi lupa orang kamu yah.” kata tante sambil mengelus lembut rambutku.
“Masih ngantuk nih tante … makan di rumah aja yah? Suruh mbak masak atau beli mie ayam di dekat sini.”
“Ahhh ogah, tante pengen jalan-jalan juga kok. Bosen dari tadi bengong di sini.”
“Oke oke, kasih Dimas lima menit lagi deh tante.” mintaku.
“Kagak boleh. Tante dah laper banget, mau pingsan dah.”
Sambil malas-malasan aku bangun dari sofa. Kulihat tante Nini sedang membenarkan posisi roknya kembali. Alamak gaya tidurku kok jelek sekali sih sampe-sampe rok tante Nini tersingkap tinggi banget. Berarti dari tadi aku tertidur di atas paha mulus tante Nini, begitulah aku berpikir. Ada rasa senang juga di dalam hati. Setelah mencuci muka, ganti pakaian, kita berdua berpamitan kepada pembantu rumah kalau kita akan makan keluar. Aku berpesan kepada pembantu agar jangan menunggu aku pulang, karena aku yakin kita pasti bakal lama. Jadi aku membawa kunci rumah, untuk berjaga-jaga apabila pembantu rumah sudah tertidur.
“Nih kamu yang setir mobil tante dong.”
“Ogah ah, Dimas cuman mau setir Baby Benz tante. Kalo yang ini males ah.” candaku. Waktu itu tante Nini membawa sedan Honda, bukan
Mercedes-nya.
“Belagu banget kamu. Kalo ngga mau setir ini, bawa itu Benz-nya mama.” balas tante Nini.
“No way … bisa digantung ogut ama papa mama.” jawabku.
“Iya udah kalo gitu setir ini dong.” jawab tante Nini sambil tertawa kemenangan.
Mobil melaju menyusuri jalan-jalan kota Jakarta. Tante Nini seperti bebek saja, ngga pernah stop ngomong and gosipin teman-temannya. Aku jenuh banget yang mendengar. Dari yang cerita pacar teman-temannya lah, sampe ke mantan tunangannya. Sesampai di daerah Muara Karang, aku memutuskan untuk makan bakmi bebeknya yang tersohor di sana. Untung tante Nini tidak protes dengan pilihan saya, mungkin karena sudah terlalu lapar dia.
Setelah makan, kita mampir ke tempat main bowling. Abis main bowling tante Nini mengajakku mampir ke rumahnya. Tante Nini tinggal sendiri di apartemen di kawasan Taman Anggrek. Dia memutuskan untuk tinggal sendiri karena alasan pribadi juga. Ayah dan ibu tante Nini sendiri tinggal di Bogor. Saat itu aku tidak tau apa pekerjaan sehari-hari tante Nini, yang tante Nini tidak pernah merasa kekurangan materi. Apartemen tante Nini lumayan bagus dengan tata interior yang classic. Di sana tidak ada siapa-siapa yang tinggal di sana selain tante Nini. Jadi aku bisa maklum apabila tante Nini sering keluar rumah. Pasti jenuh apabila tinggal sendiri di apartemen.
“Anggap rumah sendiri Dimas. Jangan malu-malu. Kalau mau minum ambil aja sendiri yah.”
“Kalo begitu, Dimas mau yang ini.” sambil menunjuk botol Hennessy V.S.O.P yang masih disegel.
“Kagak boleh, masih dibawah umur kamu.”
cegah tante Nini.
“Tapi Dimas dah umur 17 tahun. Mestinya ngga masalah” jawabku dengan bermaksud membela diri.
“Kalo kamu memaksa yah udah. Tapi jangan buka yang baru, tante punya yang sudah dibuka botolnya.”.
Tiba-tiba suara tante Nini menghilang dibalik master bedroomnya. Aku menganalisa ruangan sekitarnya. Banyak lukisan-lukisan dari dalam dan luar negeri terpampang di dinding. Lukisan dalam negerinya banyak yang bergambarkan wajah-wajah cantik gadis-gadis Bali. Lukisan yang berbobot tinggi, dan aku yakin pasti bukan barang yang murahan.
“Itu tante beli dari seniman lokal waktu tante ke Bali tahun lalu” kata tante Nini memecahkan suasana hening sebelumnya.
“Bagus tante. High taste banget. Pasti mahal yah?!” jawabku kagum.
“Ngga juga sih. Tapi tante tidak pernah menawar harga dengan seniman itu, karena seni itu mahal.
Kalo tante tidak cocok dengan harga yang dia tawarkan, tante pergi saja.” Aku masih menyibukkan diri mengamati lukisan-lukisan yang ada, dan tante Nini tidak bosan menjelaskan arti dari lukisan-lukisan tersebut. Tante Nini ternyata memiliki kecintaan tinggi terhadap seni lukis.
“Ok deh. Kalo begitu Dimas mau pamit pulang dulu tante. Dah hampir jam 11 malam. Tante istirahat aja dulu yah.” kataku.“Ehmmm … tinggal dulu aja di sini. Tante juga masih belum ngantuk. Temenin tante bentar yah.” mintanya sedikit memohon. Aku juga merasa kasihan dengan keadaan tante Nini yang tinggal sendiri di apartemen itu. Jadi aku memutuskan untuk tinggal 1 atau 2 jam lagi, sampai nanti tante Nini sudah ingin tidur.
“Kita main UNO yuk?!” ajak tante Nini.
“Apa itu UNO?!” tanyaku penasaran.
“Walah kamu ngga pernah main UNO yah?” tanya tante Nini. Aku hanya menggeleng- gelengkan kepala.
“Wah kamu kampung boy banget sih.” canda tante Nini. Aku hanya memasang tampak cemburut canda. Tante Nini masuk ke kamarnya lagi untuk membawa kartu UNO, dan kemudian masuk ke dapur untuk mempersiapkan hidangan bersama minuman. Tante Nini membawa kacang mente asin, segelas wine merah, dan 1 gelas Hennessy V.S.O.P. Setelah mengajari aku cara bermain UNO, kamipun mulai bermain-main santai sambil makan kacang mente. Hennesy yang aku teguk benar-benar keras, dan baru 2 atau 3 teguk badanku terasa panas sekali. Aku biasanya hanya dikasih 1 sisip saja oleh ayah, tapi ini skrg aku minum sendirian. Kepalaku terasa berat, dan mukaku panas. Melihat kejadian ini, tante Nini menjadi tertawa, dan mengatakan bahwa aku bukan bakat peminum. Terang aja, ini baru pertama kalinya aku minum 1 gelas Hennessy sendirian.
“Tante, anterin Dimas pulang yah. Kepala ogut rada berat.”
“Kalo gitu stop minum dulu, biar ngga tambah pusing.” jawab tante Nini.
Aku merasa tante Nini berusaha mencegahku untuk pulang ke rumah. Tapi lagi-lagi, aku seperti sapi dicucuk hidung-nya, apa yang tante Nini minta, aku selalu menyetujuinya. Melihat tingkahku yang suka menurut, tante Nini mulai terlihat lebih berani lagi. Dia mengajakku main kartu biasa saja, karena bermain UNO kurang seru kalau hanya berdua. Paling tepat untuk bermain UNO itu berempat.
Tapi permainan kartu ini menjadi lebih seru lagi. Tante mengajak bermain blackjack, siapa yang kalah harus menuruti permintaan pemenang. Tapi kemudian tante Nini ralat menjadi ‘Truth & Dare’ game. Permainan kami menjadi seru dan terus terang aja tante Nini sangat menikmati permainan ‘Truth & Dare’, dan dia sportif apabila dia kalah. Pertama-tama bila aku menang dia selalu meminta hukuman dengan ‘Truth’ punishment, lama-lama aku menjadi semakin berani menanyakan yang bukan-bukan.
Sebaliknya dengan tante Nini, dia lebih suka memaksa aku untuk memilih ‘Dare’ agar dia bisa lebih leluasa mengerjaiku. Dari yang disuruh pushup 1 tangan, menari balerina, menelan es batu seukuran bakso, dan lain-lain. Mungkin juga tidak ada pointnya buat tante Nini menanyakan the ‘Truth’ tentang diriku, karena kehidupanku terlihat lurus-lurus saja menurutnya. Ini adalah juga kesempatan untuk menggali the ‘Truth’ tentang kehidupan pribadinya. Aku pun juga heran kenapa aku menjadi tertarik untuk mencari tahu kehidupannya yang sangat pribadi. Mula-mula aku bertanya tentang mantan tunangannya, kenapa sampai batal pernikahannya. Sampai pertanyaan yang menjurus ke seks seperti misalnya kapan pertama kali dia kehilangan keperawanan.
Semuanya tanpa ragu-ragu tante Nini jawab semua pertanyaan-pertanyaan pribadi yang aku lontarkan. Kini permainan kami semakin wild dan berani. Tante Nini mengusulkan untuk mengkombinasikan ‘Truth & Dare’ dengan ‘Strip Poker’. Aku pun semakin bergairah dan menyetujui saja usul tante Nini.“Yee, tante menang lagi. Ayo lepas satu yang menempel di badan kamu.” kata tante Nini dengan senyum kemenangan.
“Jangan gembira dulu tante, nanti giliran tante yang kalah. Jangan nangis loh yah kalo kalah.” jawabku sambil melepas kaus kakiku. Selang beberapa lama … “Nahhh, kalah lagi … kalah lagi … lepas lagi … lepas lagi.”. Tante Nini kelihatan gembira sekali. Kemudian aku melepas kalung emas pemberian ibu yang aku kenakan. “Ha ha ha … two pairs, punya tante one pair. Yes yes … tante kalah sekarang. Ayo lepas lepas …” candaku sambil tertawa gembira.
“Jangan gembira dulu. Tante lepas anting tante.” jawab tante sambil melepas anting-anting yang dikenakannya. Aku makin bernapsu untuk bermain. Mungkin bernapsu untuk melihat tante Nini bugil juga. Aku pengen sekali menang terus. “Full house … yeahhh … kalah lagi tante. Ayo lepas … ayo lepas …”. Aku kini menari-nari gembira. Terlihat tante Nini melepas jepit rambut merahnya, dan aku segera saja protes “Loh, curang kok lepas yang itu?”. “Loh, kan peraturannya lepas semuanya yang menempel di tubuh. Jepit tante kan nempel di rambut dan rambut tante melekat di kepala. Jadi masih dianggap menempel dong.” jawabnya membela.
Aku rada gondok mendengar pembelaan tante Nini. Tapi itu menjadikan darahku bergejolak lebih deras lagi. “Straight … Dimas … One Pair … Yes tante menang. Ayo lepas! Jangan malu-malu!” seru tante Nini girang. Aku pun segera melepas jaket aku yang kenakan. Untung aku selalu memakai jaket tipis biar keluar malam. Lihatlah pembalasanku, kataku dalam hati. “Dimas Three kind … tante … one pair … ahhh … lagi-lagi tante kalah” sindirku sambil tersenyum.
Dan tanpa diberi aba-aba dan tanpa malu-malu, tante melepas baju atasannya. Aku serentak menelan ludah, karena baju atasan tante telah terlepas dan kini yang terlihat hanya BH putih tante. Belahan payudara-nya terlihat jelas, putih bersih. Dimas junior dengan serentak langsung menegang, dan kedua mataku terpaku di daerah belahan dadanya. “Hey, lihat kartu dong. Jangan liat di sini.” canda tante sambil menunjuk belahan dadanya. Aku kaget sambil tersenyum malu. “Yes Full House, kali ini tante menang. Ayo buka … buka”. Tampak tante Nini girang banget bisa dia menang. Kali ini aku lepas atasanku, dan kini aku terlanjang dada.
“Ck ck ck … pemain basket nih. Badan kekar dan hebat. Coba buktikan kalo hokinya juga hebat.” sindir tante Nini sambil tersenyum. Setelah menegak habis wine yang ada di gelasnya, tante Nini kemudian beranjak dari tempat duduknya menuju ke dapur dengan keadaan dada setengah terlanjang. Tak lama kemudian tante Nini membawa sebotol wine merah yang masih 3/4 penuh dan sebotol V.S.O.P yang masih 1/2 penuh.
“Mari kita bergembira malam ini. Minum sepuas-puasnya.” ucap tante Nini. Kami saling ber-tos ria dan kemudian melanjutkan kembali permainan strip poker kami. “Yesss … ” seruku dengan girangnya pertanda aku menang lagi. Tanpa disuruh, tante Nini melepas rok mininya dan aduhaiii, kali ini tante Nini hanya terliat mengenakan BH dan celana dalam saja. Malam itu dia mengenakan celana dalam yang kecil imut berwarna pink cerah. Tidak tampak ada bulu-bulu pubis di sekitar selangkangannya. Aku sempat berpikir apakah tante Nini mencukur semua bulu-bulu pubisnya. Muka tante Nini sedikit memerah. Kulihat tante Nini sudah menegak abis gelas winenya yang kedua. Apakah dia berniat untuk mabuk malam ini? Aku kurang sedikit peduli dengan hal itu. Aku hanya bernafsu untuk memenangkan permainan strip poker ini, agar aku bisa melihat tubuh terlanjang tante Nini.
“Yes, yes, yes …” senyum kemenangan terlukis indah di wajahku.
Tante Nini kemudian memandangkan wajahku selang beberapa saat, dan berkata dengan nada genitnya “Sekarang Dimas tahan napas yah. Jangan sampai seperti kesetrum listrik loh”. Kali ini tante Nini melepaskan BH-nya dan serentak jantungku ingin copot. Benar apa kata tante Nini, aku seperti terkena setrum listrik bertegangan tinggi. Dadaku sesak, sulit bernapas, dan jantungku berdegup kencang. Inilah pertama kali aku melihat payudara wanita dewasa secara jelas di depan mata. Payudara tante Nini sungguh indah dengan putingnya yang berwarna coklat muda menantang.
“Aih Dimas, ngapain liat susu tante terus. Tante masih belum kalah total. Mau lanjut ngga?” tanya tante Nini. Aku hanya bisa menganggukkan kepala pertanda ‘iya’. “Pertama kali liat susu cewek yah? Ketahuan nih. Dasar genit kamu.” tambah tante Nini lagi. Aku sekali lagi hanya bisa mengangguk malu. Aku menjadi tidak berkonsentrasi bermain, mataku sering kali melirik kedua payudaranya dan selangkangannya. Aku penasaran sekali ada apa dibalik celana dalam pinknya itu. Tempat di mana menurut teman-teman sekolah adalah surga dunia para lelaki. Aku ingin sekali melihat bentuknya dan kalo bisa memegang atau meraba-raba. Akibat tidak berkonsentrasi main, kali ini aku yang kalah, dan tante Nini meminta aku melepas celana yang aku kenakan.
Kini aku terlanjang dada dengan hanya mengenakan celana dalam saja. Tante Nini hanya tersenyum-senyum saja sambil menegak wine-nya lagi. Aku sengaja menolak tawaran tante Nini untuk menegak V.S.O.P-nya, dengan alasan takut pusing lagi. Karena kami berdua hanya tinggal 1 helai saja di tubuh kami, permainan kali ini ada finalnya. Babak penentuan apakah tante Nini akan melihat aku terlanjang bulat atau sebaliknya. Aku berharap malam itu malaikat keberuntungan berpihak kepadaku. Ternyata harapanku sirna, karena ternyata malaikat keberuntungan berpihak kepada tante Nini. Aku kecewa sekali, dan wajah kekecewaanku terbaca jelas oleh tante Nini.
Sewaktu aku akan melepas celana dalamku dengan malu-malu, tiba-tiba tante Nini mencegahnya.
“Tunggu Dimas. Tante ngga mau celana dalam mu dulu. Tante mau Dare Dimas dulu. Ngga seru kalo game-nya cepat habis kayak begini”
kata tante Nini.
Setelah meneguk wine-nya lagi, tante Nini terdiam sejenak kemudian tersenyum genit.
Senyum genitnya ini lebih menantang dari pada yang sebelum-sebelumnya.
“Tante dare Dimas untuk … hmmm … cium bibir tante sekarang.” tantang tante Nini.
“Ahh, yang bener tante?” tanyaku.
“Iya bener, kenapa ngga mau? Jijik ama tante?” tanya tante Nini.
“Bukan karena itu. Tapi … Dimas belum pernah soalnya.” jawabku malu-malu.
“Iya udah, kalo gitu cium tante dong. Sekalian pelajaran pertama buat Dimas.” kata tante Nini.
Tanpa berpikir ulang, aku mulai mendekatkan wajahku ke wajah tante Nini. Tante Nini kemudian memejamkan matanya. Pertamanya aku hanya menempelkan bibirku ke bibir tante Nini. Tante Nini diam sebentar, tak lama kemudian bibirnya mulai melumat-lumat bibirku perlahan-lahan. Aku mulai merasakan bibirku mulai basah oleh air liur tante Nini. Bau wine merah sempat tercium di hidungku. Aku pun tidak mau kalah, aku berusaha menandinginya dengan membalas lumatan bibir tante Nini.
Maklum ini baru pertama, jadi aku terkesan seperti anak kecil yang sedang melumat-lumat ice cream. Selang beberapa saat, aku kaget dengan tingkah baru tante Nini. Tante Nini dengan serentak menjulurkan lidahnya masuk ke dalam mulutku. Anehnya aku tidak merasa jijik sama sekali, malah senang dibuatnya. Aku temukan lidahku dengan lidah tante Nini, dan kini lidah kami kemudian saling berperang di dalam mulutku dan terkadang pula di dalam mulut tante Nini. Kami saling berciuman bibir dan lidah kurang lebih 5 menit lamanya. Nafasku sudah tak karuan, dah kupingku panas dibuatnya. Tante Nini seakan-akan menikmati betul ciuman ini. Nafas tante Nini pun masih teratur, tidak ada tanda sedikitpun kalau dia terangsang.
“Sudah cukup dulu. Ayo kita sambung lagi pokernya” ajak tante Nini. Aku pun mulai mengocok kartunya, dan pikiranku masih terbayang saat kita berciuman. Aku ingin sekali lagi mencium bibir lembutnya. Kali ini aku menang, dan terang saja aku meminta jatah sekali lagi berciuman dengannya. Tante Nini menurut saja dengan permintaanku ini, dan kami pun saling berciuman lagi. Tapi kali ini hanya sekitar 2 atau 3 menit saja.
“Ck ck ck … pemain basket nih. Badan kekar dan hebat. Coba buktikan kalo hokinya juga hebat.” sindir tante Nini sambil tersenyum. Setelah menegak habis wine yang ada di gelasnya, tante Nini kemudian beranjak dari tempat duduknya menuju ke dapur dengan keadaan dada setengah terlanjang. Tak lama kemudian tante Nini membawa sebotol wine merah yang masih 3/4 penuh dan sebotol V.S.O.P yang masih 1/2 penuh.
“Mari kita bergembira malam ini. Minum sepuas-puasnya.” ucap tante Nini. Kami saling ber-tos ria dan kemudian melanjutkan kembali permainan strip poker kami. “Yesss … ” seruku dengan girangnya pertanda aku menang lagi. Tanpa disuruh, tante Nini melepas rok mininya dan aduhaiii, kali ini tante Nini hanya terliat mengenakan BH dan celana dalam saja. Malam itu dia mengenakan celana dalam yang kecil imut berwarna pink cerah. Tidak tampak ada bulu-bulu pubis di sekitar selangkangannya. Aku sempat berpikir apakah tante Nini mencukur semua bulu-bulu pubisnya. Muka tante Nini sedikit memerah. Kulihat tante Nini sudah menegak abis gelas winenya yang kedua. Apakah dia berniat untuk mabuk malam ini? Aku kurang sedikit peduli dengan hal itu. Aku hanya bernafsu untuk memenangkan permainan strip poker ini, agar aku bisa melihat tubuh terlanjang tante Nini.
“Yes, yes, yes …” senyum kemenangan terlukis indah di wajahku.
Tante Nini kemudian memandangkan wajahku selang beberapa saat, dan berkata dengan nada genitnya “Sekarang Dimas tahan napas yah. Jangan sampai seperti kesetrum listrik loh”. Kali ini tante Nini melepaskan BH-nya dan serentak jantungku ingin copot. Benar apa kata tante Nini, aku seperti terkena setrum listrik bertegangan tinggi. Dadaku sesak, sulit bernapas, dan jantungku berdegup kencang. Inilah pertama kali aku melihat payudara wanita dewasa secara jelas di depan mata. Payudara tante Nini sungguh indah dengan putingnya yang berwarna coklat muda menantang.
“Aih Dimas, ngapain liat susu tante terus. Tante masih belum kalah total. Mau lanjut ngga?” tanya tante Nini. Aku hanya bisa menganggukkan kepala pertanda ‘iya’. “Pertama kali liat susu cewek yah? Ketahuan nih. Dasar genit kamu.” tambah tante Nini lagi. Aku sekali lagi hanya bisa mengangguk malu. Aku menjadi tidak berkonsentrasi bermain, mataku sering kali melirik kedua payudaranya dan selangkangannya. Aku penasaran sekali ada apa dibalik celana dalam pinknya itu. Tempat di mana menurut teman-teman sekolah adalah surga dunia para lelaki. Aku ingin sekali melihat bentuknya dan kalo bisa memegang atau meraba-raba. Akibat tidak berkonsentrasi main, kali ini aku yang kalah, dan tante Nini meminta aku melepas celana yang aku kenakan.
Kini aku terlanjang dada dengan hanya mengenakan celana dalam saja. Tante Nini hanya tersenyum-senyum saja sambil menegak wine-nya lagi. Aku sengaja menolak tawaran tante Nini untuk menegak V.S.O.P-nya, dengan alasan takut pusing lagi. Karena kami berdua hanya tinggal 1 helai saja di tubuh kami, permainan kali ini ada finalnya. Babak penentuan apakah tante Nini akan melihat aku terlanjang bulat atau sebaliknya. Aku berharap malam itu malaikat keberuntungan berpihak kepadaku. Ternyata harapanku sirna, karena ternyata malaikat keberuntungan berpihak kepada tante Nini. Aku kecewa sekali, dan wajah kekecewaanku terbaca jelas oleh tante Nini.
Sewaktu aku akan melepas celana dalamku dengan malu-malu, tiba-tiba tante Nini mencegahnya.
“Tunggu Dimas. Tante ngga mau celana dalam mu dulu. Tante mau Dare Dimas dulu. Ngga seru kalo game-nya cepat habis kayak begini”
kata tante Nini.
Setelah meneguk wine-nya lagi, tante Nini terdiam sejenak kemudian tersenyum genit.
Senyum genitnya ini lebih menantang dari pada yang sebelum-sebelumnya.
“Tante dare Dimas untuk … hmmm … cium bibir tante sekarang.” tantang tante Nini.
“Ahh, yang bener tante?” tanyaku.
“Iya bener, kenapa ngga mau? Jijik ama tante?” tanya tante Nini.
“Bukan karena itu. Tapi … Dimas belum pernah soalnya.” jawabku malu-malu.
“Iya udah, kalo gitu cium tante dong. Sekalian pelajaran pertama buat Dimas.” kata tante Nini.
Tanpa berpikir ulang, aku mulai mendekatkan wajahku ke wajah tante Nini. Tante Nini kemudian memejamkan matanya. Pertamanya aku hanya menempelkan bibirku ke bibir tante Nini. Tante Nini diam sebentar, tak lama kemudian bibirnya mulai melumat-lumat bibirku perlahan-lahan. Aku mulai merasakan bibirku mulai basah oleh air liur tante Nini. Bau wine merah sempat tercium di hidungku. Aku pun tidak mau kalah, aku berusaha menandinginya dengan membalas lumatan bibir tante Nini.
Maklum ini baru pertama, jadi aku terkesan seperti anak kecil yang sedang melumat-lumat ice cream. Selang beberapa saat, aku kaget dengan tingkah baru tante Nini. Tante Nini dengan serentak menjulurkan lidahnya masuk ke dalam mulutku. Anehnya aku tidak merasa jijik sama sekali, malah senang dibuatnya. Aku temukan lidahku dengan lidah tante Nini, dan kini lidah kami kemudian saling berperang di dalam mulutku dan terkadang pula di dalam mulut tante Nini. Kami saling berciuman bibir dan lidah kurang lebih 5 menit lamanya. Nafasku sudah tak karuan, dah kupingku panas dibuatnya. Tante Nini seakan-akan menikmati betul ciuman ini. Nafas tante Nini pun masih teratur, tidak ada tanda sedikitpun kalau dia terangsang.
“Sudah cukup dulu. Ayo kita sambung lagi pokernya” ajak tante Nini. Aku pun mulai mengocok kartunya, dan pikiranku masih terbayang saat kita berciuman. Aku ingin sekali lagi mencium bibir lembutnya. Kali ini aku menang, dan terang saja aku meminta jatah sekali lagi berciuman dengannya. Tante Nini menurut saja dengan permintaanku ini, dan kami pun saling berciuman lagi. Tapi kali ini hanya sekitar 2 atau 3 menit saja.
“Udah ah, jangan ciuman terus dong. Ntar Dimas bosan ama tante.” candanya.
“Masih belon bosan tante. Ternyata asyik juga yah ciuman.” jawabku.
“Kalo ciuman terus kurang asyik, kalo mau sih …” seru tante Nini kemudian terputus. Kalimat tante Nini ini masih menggantung bagiku, seakan-akan dia ingin mengatakan sesuatu yang menurutku sangat penting. Aku terbayang-bayang untuk bermain ‘gila’ dengan tante Nini malam itu.
Aku semakin berani dan menjadi sedikit tidak tau diri. Aku punya perasaan kalo tante Nini sengaja untuk mengalah dalam bermain poker malam itu. Terang aja aku menang lagi kali ini. Aku sudah terburu oleh nafsuku sendiri, dan aku sangat memanfaatkan situasi yang sedang berlangsung.
“Dimas menang lagi tuh. Jangan minta ciuman lagi yah. Yang lain dong …” sambut tante Nini sambil menggoda.
“Hmm … apa yah.” pikirku sejenak.
“Gini aja, Dimas pengen emut-emut susu tante Nini.” jawabku tidak tau malu.
Ternyata wajah tante Nini tidak tampak kaget atau marah, malah balik tersenyum kepadaku sambil berkata “Sudah tante tebak apa yang ada di dalam pikiran kamu, Dimas.”. “Boleh kan tante?!” tanyaku penasaran.
Tante Nini hanya mengangguk pertanda setuju. Kemudian aku dekatkan wajahku ke payudara sebelah kanan tante Nini. Bau parfum harum yang menempel di tubuhnya tercium jelas di hidungku. Tanpa ragu-ragu aku mulai mengulum puting susu tante Nini dengan lembut. Kedua telapak tanganku berpijak mantap di atas karpet ruang tamu tante Nini, memberikan fondasi kuat agar wajahku tetap bebas menelusuri payudara tante Nini. AKu kulum bergantian puting kanan dan puting kiri-nya. Kuluman yang tante Nini dapatkan dariku memberikan sensasi terhadap tubuh tante Nini.
Dia tampak menikmati setiap hisapan-hisapan dan jilatan-jilatan di puting susu-nya. Nafas tante Nini perlahan-lahan semakin memburu, dan terdengar desahan dari mulutnya. Kini aku bisa memastikan bahwa tante Nini saat ini sedang terangsang atau istilah modern-nya ‘horny’. “Dimasss … kamu nakal banget sih! … haahhh … Tante kamu apain?” bisik tante Nini dengan nada terputus-putus. Aku tidak menggubris kata-kata tante Nini, tapi malah semakin bersemangat memainkan kedua puting susunya. Tante Nini tidak memberikan perlawanan sedikitpun, malah seolah-olah seperti memberikan lampu hijau kepadaku untuk melakukan hal-hal yang tidak senonoh terhadap dirinya.
Aku mencoba mendorong tubuh tante Nini perlahan-lahan agar dia terbaring di atas karpet. Ternyata tante Nini tidak menahan/menolak, bahkan tante Nini hanya pasrah saja. Setelah tubuhnya terbaring di atas karpet, aku menghentikan serangan gerilyaku terhadap payudara tante Nini. Aku perlahan-lahan menciumi leher tante Nini, dan oh my, wangi betul leher tante Nini. Tante Nini memejamkan kedua matanya, dan tidak berhenti-hentinya mendesah. Aku jilat lembut kedua telinganya, memberikan sensasi dan getaran yang berbeda terhadap tubuhnya. Aku tidak mengerti mengapa malam itu aku seakan-akan tau apa yang harus aku lakukan, padahal ini baru pertama kali seumur hidupku menghadapi suasana seperti ini.
Kemudian aku melandaskan kembali bibirku di atas bibir tante Nini, dan kami kembali berciuman mesra sambil berperang lidah di dalam mulutku dan terkadang di dalam mulut tante Nini. Tanganku tidak tinggal diam. Telapak tangan kiriku menjadi bantal untuk kepala belakang tante Nini, sedangkan tangan kananku meremas- remas payudara kiri tante Nini. Tubuh tante Nini seperti cacing kepanasan. Nafasnya terengah-engah, dan dia tidak berkonsentrasi lagi berciuman denganku. Tanpa diberi komando, tante Nini tiba-tiba melepas celana dalamnya sendiri. Mungkin saking ‘horny’-nya, otak tante Nini memberikan instinct bawah sadar kepadanya untuk segera melepas celana dalamnya.
Aku ingin sekali melihat kemaluan tante Nini saat itu, namun tante Nini tiba-tiba menarik tangan kananku untuk mendarat di kemaluannya. “Alamak …”, pikirku kaget. Ternyata kemaluan/ memek tante Nini mulus sekali. Ternyata semua bulu jembut tante Nini dicukur abis olehnya. Dia menuntun jari tengahku untuk memainkan daging mungil yang menonjol di memeknya. Para pembaca pasti tau nama daging mungil ini yang aku maksudkan itu. Secara umum daging mungil itu dinamakan biji itil. Aku putar-putar itil tante Nini berotasi searah jarum jam atau berlawanan arah jarum jam. Kini memek tante Nini mulai basah dan licin.
“Dimasss … kamu yah … aaahhhh … kok berani ama tante?” tanya tante Nini terengah-engah.
“Kan tante yang suruh tangan Dimas ke sini?” jawabku.
“Masa sihhh … tante lupa … aahhh Dimasss … Dimasss … kamu kok nakal?” tanya tante Nini lagi.
“Nakal tapi tante bakal suka kan?” candaku gemas dengan tingkah tante Nini.
“Iyaaa … nakalin tante pleasee …” suara tante Nini mulai serak-serak basah.
Aku tetap memainkan itil tante Nini, dan ini membuatnya semakin menggeliat hebat. Tak lama kemudian tante Nini menjerit kencang seakan-akan terjadi gempa bumi saja. Tubuhnya mengejang dan kuku-kuku jarinya sempat mencakar bahuku. Untung saja tante Nini bukan tipe wanita yang suka merawat kuku panjang, jadi cakaran tante Nini tidak sakit buatku. “Dimasss … tante datangggg uhhh oohhh …” erang tante Nini. Aku yang masih hijau waktu itu kurang mengerti apa arti kata ‘datang’ waktu itu.
Yang pasti setelah mengatakan kalimat itu, tubuh tante Nini lemas dan nafasnya terengah-engah. Dengan tanpa di beri aba-aba, aku lepas celana dalamku yang masih saja menempel. Aku sudah lupa sejak kapan batang penisku tegak. Aku siap menikmati tubuh tante Nini, tapi sedikit ragu, karena takut akan ditolak oleh tante Nini. Keragu-raguanku ini terbaca oleh tante Nini. Dengan lembutnya tante Nini berkata, “Dimas, kalo pengen tidurin tante, mendingan cepetan deh, sebelon gairah tante habis. Tuh liat kontol Dimas dah tegak kayak besi. Sini tante pegang apa dah panas.”.
Aku berusaha mengambil posisi diatas tubuh tante. Gaya bercinta traditional. Perlahan-lahan kuarahkan batang penisku ke mulut vagina tante Nini, dan kucoba dorong penisku perlahan-lahan. Ternyata tidak sulit menembus pintu kenikmatan milik tante Nini. Selain mungkin karena basahnya dinding-dinding memek tante Nini yang memuluskan jalan masuk penisku, juga karena mungkin sudah beberapa batang penis yang telah masuk di dalam sana.
“Uhhh … ohhh … Dimasss … ahhh …” desah tante Nini.
Aku coba mengocok-kocok memek tante Nini dengan penisku dengan memaju-mundurkan pinggulku. Tante Nini terlihat semakin ‘horny’, dan mendesah tak karuan. “Dimasss … Dimasss … aduhhh Dimasss … geliiii tante … uhhh … ohhhh …” desah tante Nini. Di saat aku sedang asyik memacu tubuh tante Nini, tiba-tiba aku disadarkan oleh permintaan tante Nini, sehingga aku berhenti sejenak.
“Dimasss … kamu dah mau keluar belum … ” tanya tante Nini.
“Belum sih tante … mungkin beberapa saat lagi …
” jawabku serius.
“Nanti dikeluarin di luar yah, jangan di dalam.
Tante mungkin lagi subur sekarang, dan tante lupa suruh kamu pake pengaman. Lagian tante ngga punya stock pengaman sekarang. Jadi jangan dikeluarin di dalam yah.” pinta tante Nini.
“Beres tante.” jawabku.
“Ok deh … sekarang jangan diam … goyangin lagi dong …” canda tante Nini genit.
Tanpa menunda banyak waktu lagi, aku lanjutkan kembali permainan kami. Aku bisa merasakan memek tante Nini semakin basah saja, dan aku pun bisa melihat bercak-bercak lendir putih di sekitar bulu jembutku. Aku mulai berkeringat di punggung belakangku. Muka dan telingaku panas. Tante Nini pun juga sama. Suara erangan dan desahan-nya makin terdengar panas saja di telingaku. Aku tidak menyadari bahwa aku sudah berpacu dengan tante Nini 20 menit lama-nya. Tanda-tanda akan adanya sesuatu yang bakalan keluar dari penisku semakin mendekat saja.
“Dimasss … ampunnn Dimasss … kontolnya kok kayak besi aja … ngga ada lemasnya dari tadi… tante geliii banget nihhh …” kata tante Nini. “Tante … Dimasss dah sampai ujung nih …” kataku sambil mempercepat goyangan pinggulku. Puting tante Nini semakin terlihat mencuat menantang, dan kedua payudara pun terlihat mengeras. Aku mendekatkan wajahku ke wajah tante Nini, dan bibir kami saling berciuman. Aku julur-julurkan lidahku ke dalam mulutnya, dan lidah kami saling berperang di dalam. Posisi bercinta kami tidak berubah sejak tadi. Posisiku tetap di atas tubuh tante Nini.
Aku percepat kocokan penisku di dalam memek tante Nini. Tante Nini sudah menjerit-jerit dan meracau tak karuan saja. “Dimasss … tante datangggg … uhhh …ahhhhhh …” jerit tante Nini sambil memeluk erat tubuhku. Ini pertanda tante Nini telah ‘orgasme’. Aku pun juga sama, lahar panas dari dalam penisku sudah siap akan menyembur keluar. Aku masih ingat pesan tante Nini agar spermaku dilepas diluar memek tante Nini
“Tante … Dimassss datangggg …” jeritku panik. Kutarik penisku dari dalam memek tante Nini, dan penisku memuncratkan spermanya di perut tante Nini. Saking kencangnya, semburan spermaku sampai di dada dan leher tante Nini. “Ahhh … ahhhh … ahhhh …” suara jeritan kepuasanku.
“Idihhh … kamu kecil-kecil tapi spermanya banyak bangettt sih …” canda tante Nini. Aku hanya tersenyum saja. Aku tidak sempat mengomentari candaan tante Nini. Setelah semua sperma telah tumpah keluar, aku merebahkan tubuhku di samping tubuh tante Nini. Kepalaku masih teriang-iang dan nafasku masih belum stabil. Mataku melihat ke langit- langit apartment tante Nini. Aku baru saja menikmati yang namanya surga dunia.
Tante Nini kemudian memelukku manja dengan posisi kepalanya di atas dadaku. Bau harum rambutnya tercium oleh hidungku. “Dimas puas ngga?” tanya tante Nini.
“Bukan puas lagi tante … tapi Dimas seperti baru saja masuk ke surga” jawabku.
“Emang memek tante surga yah?” canda tante Nini.
“Boleh dikata demikian.” jawabku percaya diri.
“Kalo tante puas ngga?” tanyaku penasaran.
“Hmmm … coba kamu pikir sendiri aja … yang pasti memek tante sekarang ini masih berdenyut-denyut rasanya. Diapain emang ama Dimas?” tanya tante Nini manja. “Anuu … Dimas kasih si Dimas Junior … tuh tante liat jembut Dimas banyak bercak-bercak lendir. Itu punya dari memek tante tuh. Banjir keluar tadi.” kataku.
“Idihhh … mana mungkin …” bela tante Nini sambil mencubit penisku yang sudah mulai loyo.
“Dimas sering-sering datang ke rumah tante aja. Nanti kita main poker lagi. Mau kan?” pinta tante Nini. “Sippp tante.” jawabku serentak girang. Malam itu aku nginap di rumah tante Nini. Keesokan harinya aku langsung pulang ke rumah. Aku sempat minta jatah 1 kali lagi dengan tante Nini, namum ajakanku ditolak halus olehnya karena alasan dia ada janji dengan teman-temannya. Sejak saat itu aku menjadi teman seks gelap tante Nini tanpa sepengetahuan orang lain terutama ayah dan ibu.
Tante Nini senang bercinta yang bervariasi dan dengan lokasi yang bervariasi pula selain apartemennya sendiri. Kadang bermain di mobilnya, di motel kilat yang hitungan charge-nya per jam, di ruang VIP spa kecantikan ibuku (ini aku berusaha keras untuk menyelinap agar tidak diketahui oleh para pegawai di sana). Tante Nini sangat menyukai dan menikmati seks. Menurut tante Nini seks dapat membuatnya merasa enak secara jasmani dan rohani, belum lagi seks yang teratur sangatlah baik untuk kesehatan. Dia pernah menceritakan kepadaku tentang rahasia awet muda bintang film Hollywood tersohor bernama Elizabeth Taylor, yah jawabannya hanya singkat saja yaitu seks dan diet yang teratur.
Tante Nini paling suka ‘bermain’ tanpa kondom. Tapi dia pun juga tidak ingin memakai sistem pil sebagai alat kontrasepsi karena dia sempat alergi saat pertama mencoba minum pil kontrasepsi. Jadi di saat subur, aku diharuskan memakai kondom. Di saat setelah selesai masa menstruasinya, ini adalah saat di mana kondom boleh dilupakan untuk sementara dulu dan aku bisa sepuasnya berejakulasi di dalam memeknya. Apabila di saat subur dan aku/tante Nini lupa menyetok kondom, kita masih saja nekat bermain tanpa kondom dengan berejakulasi di luar (meskipun ini rawan kehamilannya tinggi juga).
Hubungan gelap ini sempat berjalan hampir 4 tahun lamanya. Aku sempat memiliki perasaan cinta terhadap tante Nini. Maklum aku masih tergolong remaja/pemuda yang gampang terbawa emosi. Namun tante Nini menolaknya dengan halus karena apabila hubunganku dan tante Nini bertambah serius, banyak pihak luar yang akan mencaci-maki atau mengutuk kami. Tante Nini sempat menjauhkan diri setelah aku mengatakan cinta padanya sampai aku benar-benar ‘move on’ dari-nya. Aku lumayan patah hati waktu itu (hampir 1.5 tahun), tapi aku masih memiliki akal sehat yang mengontrol perasaan sakit hatiku. Saat itu pula aku cuti ‘bermain’ dengan tante Nini.
Saat ini aku masih berhubungan baik dengan tante Nini. Kami kadang-kadang menyempatkan diri untuk ‘bermain’ 2 minggu sekali atau kadang-kadang 1 bulan sekali. Tergantung dari mood kami masing-masing. Tante Nini sampai sekarang masih single. Aku untuk sementara ini juga masih single. Aku putus dengan pacarku sekitar 6 bulan yang lalu. Sejak putus dengan pacarku, tante Nini sempat menjadi pelarianku, terutama pelarian seks. Sebenarnya ini tidak benar dan kasihan tante Nini, namun tante Nini seperti mengerti tingkah laku lelaki yang sedang patah hati pasti akan mencari seorang pelarian. Jadi tante Nini tidak pernah merasa bahwa dia adalah pelarianku, tapi sebagai seorang teman yang ingin membantu meringkankan beban perasaan temannya